Dr. Jusman Mansyur, M.Si dan Dr. Darsikin, M.Si
Sasaran yang dicapai pada tahun kedua adalah untuk tersedianya rekomendasi model teoritis desain instruksional melalui resionalisasi model atau desain pembelajaran yang dianggap potensial dapat mengembangkan CC dan MMA. Kemudian dilakukan penyusaian terhadap aspek-aspek problem solving dan sistem representasi eksternal berdasarkan temuan tahun pertama.
Pengintegrasian temuan tahun pertama dan kedua menyediakan rekomendasi terhadap karakteristik model desain instruksional akan dikembangkan. Dalam hal ini, dilakukan pemetaan potensi model berdasarkan perilaku problem solving dan penggunaan representasi eksternal dan indikator-indikator CC dan MMA yang menjadi target.
Pada tahun kedua ini, jumlah mahasiswa Program Studi Pendidikan sains (S2) yang terlibat sebanyak 2 (dua) orang sebagai tambahan selain 1 (satu) orang yang terlibat sejak tahun pertama. Satu orang tersebut telah menyelesaikan studinya. Dua orang lainnya telah menempuh seminar hasil penelitian.
Berkenaan dengan subtopik pertama tentang perbedaan unjuk kerja baik siswa maupun guru dalam problem solving tipe well-defined problem dan tipe ill-defined problem diperoleh deskripsi bahwa secara umum responden dapat menyelesaikan soal well-defined problem tetapi mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal ill-defined problem yang memerlukan penalaran dan pengetahuan tentang konsep-konsep fisika. Rendahnya unjuk kerja siswa dalam problem solving tipe ill-defined problem yang diduga karena pada pembelajaran pemecahan masalah fisika di sekolah secara konvensional umumnya menekankan well-defined problem. Siswa terbiasa menghadapi soal yang telah diketahui beberapa besaran pendukung dan menghitung besaran lainnya melalui persamaan matematis. Temuan tersebut mempertegas pendapat Walsh, et al. (2007) dan temuan penelitian Pajang (2012).
Subtopik kedua tentang karakteristik MMA ditemukan bahwa karakteristik MMMA hampir mendekati karakteristik HMMA. Responden pada kelompok ini mampu melakukan keterampilan visualisasi untuk menghasilkan dan mengeporasikan model mental mereka. Keterampilan visualisasi ini tidak teramati pada responden kategori LMMA. Kelompok LMMA mengandalkan keterampilan visualisasi dalam bentuk representasi eksternal berupa persamaan atau rumus. Keterampilan representasi dalam bentuk diagram atau gambar yang relevan penting bagi mahasiswa untuk memahami konsep-konsep yang melibatkan informasi spasial. Mahasiswa dalam kelompok berkemampuan pemodelan mental mereka dan menggunakannya untuk membenarkan model mental konsep dasar listrik statis mereka. Tindakan metakognitif sangat diperlukan untuk keberhasilan pemodelan mental. Metakognitif meliputi pengakuan konteks dan kondisi masalah, mengontrol proses penyusunan model mental untuk memastikan model yang dibangun sesuai untuk memecahkan maslah, dan mengakui pendekatan yang digunakan serta langkah-langkah pemodelan metal, kulaitas dan akurasi pengetahuan untuk diterapkan pada model mental. Tindakan metakognitif ini hanya ditunjukkan oleh sebagian mahasiswa MMMA sementara pada kelompok LMMA tidak tampak.
Subtopik ketiga menemukan bahwa dalam meyelesaikan soal yang sama, setiap responden memiliki alur berpikir yang berbeda sehingga mempengaruhi terbentuknya peta penalaran yang berbeda oleh setiap responden. Hal ini berhubungan dengan perbedaan pemahaman responden terhadap soal yang diberikan sehingga cara menginterprestasikan maksud soal pun cenderung berbeda. Efek instruksional pada jenjang pendidikan saat ini dan jenjang pendidikan sebelumnya denga asal sekolah yang berbeda juga dapat diduga mempengaruhi peta penalaran tersebut khususnya ketika pengajar menyajikan contoh soal dan proses penyelesaiannya. Selain itu, juga diduga dipengaruhi oleh sumber-sumber belajar yang menjadi bahan referensi responden selama menjalani proses pembelajaran. Hasil yang diperoleh ini pun sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilaksanakan oleh Sabella dan Redish (2007) yang menyatakan bahwa struktur pengetahuan seorang individu tergantung pada isyarat yang dirasakan oleh individu dan bagaiamana isyarat tersebut diinterprestasikan. Setiap orang mengkodekan atau menafsirkan informasi secara berbeda. Hal ini dapat menyebabkan setiap orang dapat mengaktifkan struktur pengetahuan yang berbeda ketika disajikan isyarat yang sama. Hasil ini terlihat jelas pada uraian peta penalaran setiap responden untuk setiap soal yang sama mampu menghasilkan berbagai alur yang berbeda sehingga menghasilkan peta penalaran setiap responden pun berbeda-beda. Berdasarkan temuan tahun pertama dan kedua maka fokus penelitian selanjutnya adalah menyusun struktur desain instruksional sebagai model teoritik. Model teoritik tersebut akan melalui tahapan pengembangan yaitu design, develop dan dissiminate dari model 4-D